“One must always be careful of books, and what is inside them, for words have the power to change us.”
―Cassandra Clare, Clockwork Angel
Coba renungkan kembali ketika kita masih muda. Apakah ada buku-buku yang benar-benar menyentuh-menggeser pemikiran kita, yang kita rasakan memengaruhi pilihan hidup saat ini? Bahkan mungkin buku-buku favorit tersebut masih ada di lemari buku hingga saat ini.
Membaca buku pada dasarnya adalah seperti memberikan makanan ke otak. Lalu otak menganalisis, merenungkan, dan menyerap informasi yang dianggap layak untuk diketahui – dipahami – lalu diimplementasi. Para pembaca buku pasti tidak bisa menolak fakta bahwa ada buku-buku tertentu yang mengubah hidup mereka ketika berada di lorong gelap atau sedang mencari sebuah jawaban akan pertanyaan kehidupan. Buku-buku tertentu mempunyai ‘aura magis’ yang bisa membantu mengartikulasikan pikiran dan emosi, membantu menemukan “voice”, dan bahkan dapat mengubah seluruh hidup, memberi pandangan yang menarik tentang berbagai hal dan membantu kita tumbuh sebagai pribadi.
Berikut lima buku yang membentuk pribadi saya hingga saat ini. Dalam urutan lini masa. Bukan urutan terbaik atau urutan pengaruh.
1. La Bible Le Coran Et La Science, 1976 (Maurice Bucaille)

Seorang Gayuh muda ketika di sekolah dasar sampai SMA adalah pemuja sains, sejarah, dan matematika. Antusias terhadap sains mulai dari antariksa, geografi – geomorfologi, dan biografi.
Sains terkait dengan ‘mistis’ pun dinikmati. Buku-buku Muhammad Isa Dawud pun terkoleksi di masa SMP, yaitu Dajjal Keluar Dari Segitiga Bermuda dan Dialog Dengan Jin Muslim. Buku tentang Nyi Roro Kidul pun terbeli ketika wisata ke Pantai Selatan.
Namun, ada satu buku sains yang ternyata sudah berada di koleksi rumah namun baru terbaca ketika SMA kelas 1 dan itu membangkitkan gairah tentang sains dan Islam. Buku translate bahasa Indonesia karangan Professor Maurice Bucaille berjudul Bibel, Al-quran, dan Sains Modern sangatlah kebetulan dibahas di kelas pelajaran PAI di kelas 1 SMA.
Fakta ayat fii dzulumatin tsalatsi atau tiga lapis (kegelapan) janin dan gunung-gunung berjalan – teori tektonik lempeng menginspirasi jiwa. Menorehkan keyakinan bahwa agama Islam yang dianut tidak sekedar rutinitas ibadah yang saat itu sedang dilakoni di musholla dan masjid dekat rumah: tahlilan malam jumat, tadarus, sholawatan, dsb.
Masih di periode antusiasme sains itu, terbelilah buku “Setetes Rahasia Alam Tuhan”, yang mencoba mencerna kejadian Isra’ Mi’raj melalui pendekatan astro-fisika.
2. Ma’alim Fi Ath-Thariq, 1964 (Sayed Qutb)
Seorang mahasiswa Gayuh adalah mengalami ‘shifting’ secara pemahaman beragama. Mulai dari dasar konsep aqidah tauhid sampai beribadah dan bermuamalah. Berkat kajian (baca: liqo/halaqah) di masjid Salman ITB. Dari yang semula Islam ritualistik (dan tradisional) dan skup lokal.
Bacaan buku ini benar-benar game changer bagi iman dan pemikiran. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Petunjuk Jalan”. Buku yang ditulis oleh Sayed Qutb, seorang doktor aktivis dakwah yang dipenjara oleh Presiden Mesir waktu itu. Sari pemikirannya adalah tentang fundamental akidah tauhid. Akar keimanan tunggal hanya kepada Allah SWT melahirkan konsekuensi kewajiban bagi setiap pengucap Laa Ilaaha Illallaah. Konsekuensi ini yang kemudian didetilkan dalam beberapa aspek, mulai dari pribadi, kehidupan sosial, dan (ini yang menarik) negara/politik! Apa konsekuensi seorang yang sudah bersyahadat pada kondisi pribadi sebagai warga negara. Buku ini ada di tataran pemikiran dasar. Bukan di level praktikal. Untuk dijadikan pedoman dalam praktik kasus per kasus.
//www.instagram.com/embed.js
Sependek ingatan saya, empat kali saya beli buku ini, karena ketiganya diminta oleh tiga teman kuliah saat itu. Ada yang mau lagi? 🙂
Buku ini, dalam beberapa kesempatan, menjadi buku “terlarang” di beberapa negara. Karena tulisannya yang ‘brainwashing’. Bahkan ketika musim episode bom dan teroris sejak Bom Bali sampai 2010-an, buku ini sering ditongolkan sebagai barang bukti hasil olah TKP di kediaman para teroris.
3. Ayat-ayat Cinta, 2003 (Habiburrahman El Shirazy)

Saya pribadi adalah persona yang logis dan empirik, consequently lemah dalam imajinasi dan fantasi. Meski hobi membaca, novel bukanlah menu yang disukai. Pernah mencoba melahap Lord Of The Ring dan Harry Potter supaya tidak ketinggalan jaman waktu itu, namun gagal. Otaknya ga sanggup. Hehe.. Meski pernah menamatkan Ramayana dan Mahabharata saat SMP. Namun, novel Ayat-ayat Cinta ini sangat menarik perhatian karena hits di masa ‘puber ngaji’ waktu itu. Kuatnya akar iman butuh imajinasi terhadap manisnya buah akhlak. Dan di novel ini saya menemukan imajinasi tersebut.
Kekuatan novel ini adalah akhlak si pemeran utama. Seorang pemuda yang super sholih dan pintar. Terdengar utopis di era jaman now, namun sesungguhnya saya bisa katakan bahwa banyak di sekitar kita yang selevel bahkan lebih dari itu. Beberapa kilas episode kehidupan tentang kemuliaan akhlak termaktub dengan manis di novel ini. Dibungkus dengan narasi yang menceritakan indahnya negara Mesir dan kehidupan mahasiswa Universitas Al-Azhar. Match dengan situasi saya waktu itu.
Namun apa daya, versi filmnya mendegradasi kekuatan novel ini. Ini akibat sutradara dan tim tidak berada di level akidah yang berbeda. Akhirnya, penafsiran terhadap novel menjadi bias. Filmnya malah berfokus ke poligami.